SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN

Berkata As-Syaikh DR. Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah ta’ala:

SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN [1].

Mencakup pasal ini beberapa pembahasan berikut:

PERTAMA: Hukum shalat gerhana matahari dan bulan.
KEDUA: Tatacaranya dan jumlah raka’atnya.
KETIGA: Shalat gerhana bulan seperti shalat gerhana matahari

Dan berikut penjelasan untuk kalian:

HUKUM SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN:

Shalat gerhana matahari dan bulan adalah sunnah muakkadah, disunnahkan bagi seorang muslim untuk melakukannya sebagai bentuk anjuran yang sangat ditekankan.

Dan yang menunjukkan hal ini adalah apa yang datang:

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ؛ ﺃﻧﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ: ﺧﺴﻔﺖ اﻟﺸﻤﺲ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﺼﻠﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ، ﻓﻘﺎﻡ ﻓﺄﻃﺎﻝ اﻟﻘﻴﺎﻡ، ﺛﻢ ﺭﻛﻊ ﻓﺄﻃﺎﻝ اﻟﺮﻛﻮﻉ، ﺛﻢ ﻗﺎﻡ ﻓﺄﻃﺎﻝ اﻟﻘﻴﺎﻡ – ﻭﻫﻮ ﺩﻭﻥ اﻟﻘﻴﺎﻡ اﻷﻭﻝ -، ﺛﻢ ﺭﻛﻊ ﻓﺄﻃﺎﻝ اﻟﺮﻛﻮﻉ – ﻭﻫﻮ ﺩﻭﻥ اﻟﺮﻛﻮﻉ اﻷﻭﻝ -، ﺛﻢ ﺳﺠﺪ ﻓﺄﻃﺎﻝ اﻟﺴﺠﻮﺩ، ﺛﻢ ﻓﻌﻞ ﻓﻲ اﻟﺮﻛﻌﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻓﻌﻞ ﻓﻲ اﻷﻭﻟﻰ، ﺛﻢ اﻧﺼﺮﻑ ﻭﻗﺪ اﻧﺠﻠﺖ اﻟﺸﻤﺲ، ﻓﺨﻄﺐ اﻟﻨﺎﺱ، ﻓﺤﻤﺪ اﻟﻠﻪ ﻭﺃﺛﻨﻰ ﻋﻠﻴﻪ، ﺛﻢ ﻗﺎﻝ: “ﺇﻥ اﻟﺸﻤﺲ ﻭاﻟﻘﻤﺮ ﺁﻳﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺕ اﻟﻠﻪ، ﻻ ﻳﻨﺨﺴﻔﺎﻥ ﻟﻤﻮﺕ ﺃﺣﺪ ﻭﻻ ﻟﺤﻴﺎﺗﻪ، ﻓﺈﺫا ﺭﺃﻳﺘﻢ ﺫﻟﻚ؛ ﻓﺎﺩﻋﻮا اﻟﻠﻪ ﻭﻛﺒﺮﻭا، ﻭﺻﻠﻮا، ﻭﺗﺼﺪﻗﻮا”. ﺛﻢ ﻗﺎﻝ: “ﻳﺎ ﺃﻣﺔ ﻣﺤﻤﺪ! ﻭاﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﺃﻏﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺰﻧﻲ ﻋﺒﺪﻩ ﺃﻭ ﺗﺰﻧﻲ ﺃﻣﺘﻪ. ﻳﺎ ﺃﻣﺔ ﻣﺤﻤﺪ! ﻟﻮ ﺗﻌﻠﻤﻮﻥ ﻣﺎ ﺃﻋﻠﻢ؛ ﻟﻀﺤﻜﺘﻢ ﻗﻠﻴﻼً، ﻭﻟﺒﻜﻴﺘﻢ ﻛﺜﻴﺮاً” ﺃﺧﺮﺟﻪ اﻟﺸﻴﺨﺎﻥ.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha; Beliau bersabda: Terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama manusia, maka beliau berdiri kemudian beliau memanjangkan berdirinya, kemudian rukuk dan memanjangkan rukuknya, kemudian berdiri (kembali) dan memanjangkan berdirinya -namun lebih ringkas dari berdiri yang pertama-, kemudian rukuk dan memanjangkan rukuk -namun lebih ringkas dari rukuk yang pertama-, kemudian sujud dan memperpanjang sujud, kemudian melakukan pada raka’at kedua seperti apa yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian beliau berpaling dan matahari telah terang, kemudian beliau khutbah kepada manusia, maka beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua buah ayat (tanda) dari tanda-tanda kebesaran Allah, yang keduanya tidaklah mengalami gerhana karena kematian seseorang dan bukan pula karena hidupnya seseorang, maka apabila kalian melihat itu; berdoalah kepada Allah dan bertakbir, shalatlah dan bersedekahlah”. Kemudian beliau bersabda: “Wahai umat Muhammad! Demi Allah, tidak ada satupun yang lebih cemburu dari Allah ketika ada yang menzinahi budaknya atau menzinahi budak wanitanya. Wahai umat Muhammad! Seandainya kalian tahu apa yang aku tahu; tentulah kalian akan sedikit ketawa, dan sungguh kalian akan banyak menangis”. Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim [2].

Aku (Bazmul) katakan: Dan sisi pendalilan hadits bahwa perintah untuk shalat datang bergandengan dengan perintah untuk bertakbir, berdoa dan bersedekah, dan tidak ada yang mengatakan akan wajibnya sedekah, bertakbir dan berdoa ketika terjadi gerhana; maka perintah padanya untuk anjuran secara ijma’ (kesepakatan), maka demikian pula perintah untuk shalat yang digandengkan dengan hal-hal itu[3]. Wallahul muwaffiq.

SIFAT SHALAT GERHANA DAN JUMLAH RAKA’ATNYA:

Pembahasan ini mencakup beberapa permasalahan sebagai berikut:

MASALAH PERTAMA: Tidak ada adzan dan iqamat untuk shalat gerhana.
MASALAH KEDUA: Jumlah raka’at shalat gerhana.
MASALAH KETIGA: Mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana.
MASALAH KEEMPAT: Dilakukan shalat secara berjamaah di masjid.
MASALAH KELIMA: Apabila dia kehilangan rukuk dari dua kali rukuk dalam satu raka’at.

Dan berikut penjelasannya:

MASALAH PERTAMA: Tidak ada adzan dan iqamat untuk shalat gerhana :

Para ulama sepakat menyatakan bahwa tidak ada adzan bagi shalat gerhana dan tidak juga iqamat [4], dan yang dianjurkan [5] ialah memanggil untuk menunaikannya dengan ucapan:

الصَّلَاةُ جَامِعَة.

Dalil dari yang demikian itu adalah apa yang telah shahih dari Abdillah bin Amr radhiallahu ‘anhuma; berkata:

“ﻟﻤﺎ ﻛﺴﻔﺖ اﻟﺸﻤﺲ ﻋﻠﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ؛ ﻧﻮﺩﻱ: ﺇﻥ اﻟﺼﻼﺓ ﺟﺎﻣﻌﺔ”. ﺃﺧﺮﺟﻪ اﻟﺸﻴﺨﺎﻥ.

“Ketika matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; diseru:

إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَة.

Sesungguhnya shalat dilakukan dengan berjamaah.” Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. [6]

MASALAH KEDUA: Jumlah raka’at shalat gerhana:

Shalat gerhana dilakukan dua raka’at dengan dua rukuk (pada setiap raka’atnya, pent), dan dalil atas hal itu apa yang telah lewat pada hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dan demikian pula apa yang datang dari Abdullah bin Abbas; beliau katakan:

Telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berdiri dengan berdiri yang panjang sekira dari bacaan surat Al-Baqarah, kemudian rukuk dengan rukuk yang panjang, kemudian bangkit dan berdiri dengan berdiri yang panjang -namun lebih pendek dari yang pertama-, kemudian rukuk dengan rukuk yang panjang -namun lebih pendek dari rukuk pertama-, kemudian sujud, kemudian berdiri dengan berdiri yang panjang -namun lebih pendek dari berdiri yang pertama-, kemudian rukuk dengan rukuk yang panjang -namun lebih pendek dari rukuk yang pertama-, kemudian berdiri dengan berdiri yang panjang -namun lebih pendek dari berdiri yang pertama-, kemudian rukuk dengan rukuk yang panjang -namun lebih pendek dari rukuk yang pertama-, kemudian sujud, kemudian berpaling dan sungguh matahari telah menjadi terang, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ﺇﻥ اﻟﺸﻤﺲ ﻭاﻟﻘﻤﺮ ﺁﻳﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺕ اﻟﻠﻪ، ﻻ ﻳﺨﺴﻔﺎﻥ ﻟﻤﻮﺕ ﺃﺣﺪ ﻭﻻ ﻟﺤﻴﺎﺗﻪ، ﻓﺈﺫا ﺭﺃﻳﺘﻢ ﺫﻟﻚ؛ ﻓﺎﺫﻛﺮﻭا اﻟﻠﻪ”

“Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidaklah mengalami gerhana karena kematian seseorang dan bukan pula karena hidupnya seseorang, maka apabila kalian melihat hal itu; maka segeralah mengingat Allah”.

Mereka (sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah! Kami melihat engkau mengambil sesuatu di tempatmu, kemudian kami melihat engkau ketakutan? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“ﺇﻧﻲ ﺭﺃﻳﺖ اﻟﺠﻨﺔ، ﻓﺘﻨﺎﻭﻟﺖ ﻋﻨﻘﻮﺩاً، ﻟﻮ ﺃﺻﺒﺘﻪ؛ ﻷﻛﻠﺘﻢ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﺑﻘﻴﺖ اﻟﺪﻧﻴﺎ. ﻭﺭﺃﻳﺖ اﻟﻨﺎﺭ، ﻓﻠﻢ ﺃﺭ ﻣﻨﻈﺮاً ﻛﺎﻟﻴﻮﻡ ﻗﻂ ﺃﻓﻈﻊ، ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻫﻠﻬﺎ اﻟﻨﺴﺎء”

“Sesungguhnya aku telah melihat Al-Jannah (surga), maka akupun mengambil seikat, jika aku mendapatkannya; niscaya kalian akan memakan darinya selama dunia masih ada. Dan aku melihat An-Naar (neraka), dan aku belum pernah melihat suatu pemandangan seperti pada hari sama sekali yang lebih mengerikan, dan aku melihat yang terbanyak penghuninya adalah para wanita”.

Mereka bertanya: Dengan sebab apa wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Dengan sebab kekufuran mereka”.

Dikatakan: mereka wanita itu kufur kepada Allah? Beliau menjawab:

“ﻳﻜﻔﺮﻥ اﻟﻌﺸﻴﺮ، ﻭﻳﻜﻔﺮﻥ اﻹﺣﺴﺎﻥ، ﻟﻮ ﺃﺣﺴﻨﺖ ﺇﻟﻰ ﺇﺣﺪاﻫﻦ اﻟﺪﻫﺮ ﻛﻠﻪ، ﺛﻢ ﺭﺃﺕ ﻣﻨﻚ ﺷﻴﺌﺎً؛ ﻗﺎﻟﺖ: ﻣﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﻨﻚ ﺧﻴﺮاً ﻗﻂ”

“Mereka kufur (ingkar) kepada suami, mereka ingkari perbuatan ihsan (baik) suami, kalau sekiranya kamu berbuat baik kepada salahsatu dari mereka sepanjang tahun semuanya, kemudian dia melihat darimu sesuatu; maka dia akan berkata: aku tidak melihat darimu satu kebaikan pun”. Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim [7].

FAEDAH:
Pada hadits Aisyah dan Ibnu Abbas menunjukkan dianjurkannya khutbah pada shalat gerhana setelah shalat [8].

MASALAH KETIGA: Mengeraskan bacaan pada shalat gerhana:

Dan membaca ayat dalam shalat gerhana dibaca keras; sebagaimana dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan dalam shalat gerhana bacaannya, dan apabila telah selesai bacaannya; beliau bertakbir lalu rukuk, dan apabila bangkit dari rukuk; beliau mengucapkan:

سَمِعَ اللَّهُ لِمَـنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ

“Allah mendengar kepada hamba-Nya yang memuji-Nya, wahai Rabb kami dan bagi-Mu segala pujian.”

Kemudian beliau mengulang bacaan pada shalat gerhana sebanyak empat kali rukuk dalam dua raka’at dan empat kali sujud.” Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim [9].

Berkata At-Tirmidzi rahimahullah: “Dan para ulama berselisih tentang bacaan dalam shalat gerhana: maka sebagian ulama membacanya secara sirr (pelan) dalam bacaan dalam shalat tersebut di siang hari, dan sebagian mereka mengeraskan bacaan padanya; seperti pada shalat ‘iedain (dua hari raya) dan Jumat, dan inilah pendapatnya Malik, Ahmad dan Ishaq; mereka berpendapat mengeraskan bacaan padanya, dan berkata As-Syafi’i: tidak mengeraskan bacaan padanya” [10]. Selesai.

Aku katakan: Apa yang mencocokinya hadits maka itulah yang menjadi patokan [11], wa billahi at-taufiq.

MASALAH KEEMPAT: Dilakukan shalat secara berjamaah di masjid:

Yang sunnah dalam shalat gerhana ialah menunaikan shalat di masjid, dan yang menunjukkan hal itu ialah beberapa hal berikut:

Apa yang telah berlalu dari disyariatkannya panggilan untuk shalat gerhana dengan mengucapkan:

الصَّلَاةُ جَامِعَة

Apa yang disebutkan bahwa sebagian sahabat menunaikan shalatnya secara berjamaah di masjid [12].

Apa yang telah diinformasikan oleh kedua riwayat yang telah lalu dari hadits Aisyah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunaikan shalatnya secara berjamaah di masjid, bahkan dalam sebuah riwayat pada hadits Aisyah terdahulu; Aisyah mengatakan:

“Terjadi gerhana matahari di masa hidupnya rasulullah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid, maka beliau berdiri dan bertakbir, dan manusia berbaris dibelakangnya… ” [13].

MASALAH KELIMA: Apabila terluputkan baginya satu rukuk dari dua rukuk dalam satu raka’at:

Shalat gerhana dua raka’at, setiap raka’at dengan dua rukuk dan dua sujud; maka secara keseluruhan shalat menjadi empat rukuk dan empat sujud dalam dua raka’at.

Dan barangsiapa menjumpai rukuk kedua dalam raka’at pertama; maka berarti telah terluputkan padanya satu berdiri, bacaan surat, dan rukuk, dan berdasarkan itu maka artinya dia tidak mendatangkan satu raka’at dari dua raka’at dalam shalat gerhana; maka tidak teranggap satu raka’at ini, dan wajib baginya setelah salamnya imam untuk mendatangkan satu raka’at dengan dua rukuk berdasarkan apa telah tetap dalam hadits-hadits yang shahih. Wallahu a’lam.

Dan dalil atas hal itu adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

” ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼً ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮﻧﺎ؛ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ”. ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ.

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada padanya perkara (agama) kami; maka dia tertolak.” Muttafaq ‘alaih. [14]

Dan bukan termasuk dari perkara (agama) Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan satu raka’at dari shalat gerhana dengan satu rukuk. Wallahu a’lam.

SHALAT GERHANA BULAN SEPERTI GERHANA MATAHARI:

Dilaksanakannya shalat bagi gerhana bulan seperti shalat untuk gerhana matahari, dan dalilnya adalah sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:

” ﺇﻥ اﻟﺸﻤﺲ ﻭاﻟﻘﻤﺮ ﺁﻳﺘﺎﻥ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺕ اﻟﻠﻪ، ﻻ ﻳﻨﺨﺴﻔﺎﻥ ﻟﻤﻮﺕ ﺃﺣﺪ ﻭﻻ ﻟﺤﻴﺎﺗﻪ، ﻓﺈﺫا ﺭﺃﻳﺘﻢ ﺫﻟﻚ؛ ﻓﺎﺩﻋﻮا اﻟﻠﻪ ﻭﻛﺒﺮﻭا ﻭﺻﻠﻮا ﻭﺗﺼﺪﻗﻮا”. ﺃﺧﺮﺟﻪ اﻟﺸﻴﺨﺎﻥ.

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan bukan karena hidupnya seseorang, maka apabila kalian melihat itu; maka berdoalah kepada Allah dan bertakbirlah, dan shalat lah serta bersedekahlah. ” Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. [15]

Aku katakan: maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat karena gerhana matahari, dan beliau memerintahkan kami untuk kami melakukan seperti itu pada gerhana bulan, dan ini adalah perkara yang nyata dan jelas, wallahu a’lam.

Berkata Ibnul Mundzir: “Dan menunaikan shalat untuk gerhana bulan sebagaimana shalat untuk gerhana matahari.” [16].

Selesai [tamat alhamdulillah].

———-
Catatan kaki:
[1]. Terjadi gerhana matahari – dengan difathahkan huruf kaf pada kata: كَسَفَتْ الشَّمْسُ – dan كَسَفَ القَمَرُ, dan yang lebih utama untuk dikatakan: خَسَفَ القَمَرُ, dan telah datang dalam sebuah hadits:
“كسفت الشمس وخسفت” و “كسف القمر وخسف”
Jami Al-Ushul (6/164).

[2]. Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Bukhari di dalam beberapa tempat diantaranya dalam (Kitab Al-Kusuf, bab: As-Shadaqah fi Al-Kusuf, hadits no. 1044) dan teksnya ada padanya, dan Muslim di dalam (Kitab Al-Kusuf, bab Shalat Al-Kusuf, hadits no. 901).

[3]. Lihat seputar masalah dalalah al-iqtiran kapan menjadi kuat dan kapan tampak lemahnya dan kapan setara keduanya pada:”Badai’e Al-Fawaid” (4/183-184).

[4]. “Fathul Bari” (2/533), “Mawsu’ah Al-Ijma'” (1/696).

[5]. “Syarh Al-‘Umdah” karya Ibnu Daqiq Al-‘Ied (2/135 – 136), “Fathul Bari” (2/533).

[6]. Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Bukhari di beberapa tempat diantaranya dalam (Kitab Al-Kusuf, bab An-Nida Bi As-Shalat Jami’ah fi Al-Kusuf, hadits no. 1045) dan lafazh miliknya, dan dikeluarkan oleh Muslim dalam (Kitab Al-Kusuf, bab Dzikru An-Nida Bi Shalat Al-Kusuf: As-Shalat Jami’ah, hadits no. 910). Dan lihat: “Jami’ Al-Ushul” (6/178).

[7]. Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Bukhari di beberapa tempat diantaranya dalam (Kitab Al-Kusuf, bab Shalat Al-Kusuf Jama’ah, hadits no. 1052) dan lafazh miliknya, dan Muslim dalam (Kitab Al-Kusuf, bab Ma ‘Uridha ‘Ala An-Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam Fi Shalat Al-Kusuf Min Amri Al-Jannah wa An-Naar, hadits no. 907) dan lihat “Jami’ Al-Ushul” (6/173).

[8]. Dan didalam tarjumah Bukhari dalam (Kitab Al-Kusuf: bab Khuthbah Al-Imam Fi Al-Kusuf. Dan berkata Aisyah serta Asma: nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah, kemudian beliau membawakan hadits Aisyah yang lalu. “Fathul Bari” (2/533 – 534)).

[9]. Hadits shahih. Dikeluarkan Bukhari dalam beberapa tempat diantaranya dalam (Kitab Al-Kusuf, bab Shalat Al-Kusuf, hadits no. 901). Dan lihat: “Jami’ Al-Ushul” (6/156). Dan hadits telah lewat takhrij-nya, tanpa isyarat kepada riwayat ini.

[10]. “Sunan At-Tirmidzi” (2/448 – tahqiq Ahmad Syakir).

[11]. Lihat ucapan As-Syafi’i dan dalilnya di dalam “Al-Umm” (1/243) serta perbandingan dalil-dalilnya dan bantahannya dalam “Fathul Bari” (2/550).

[12]. Dari penetapan judul Bukhari di dalam “Shahih” nya: bab Shalat Al-Kusuf jamaah, wa shalla Ibnu Abbas lahum fi shifat zamzam, wa jama’a Ali bin Abdillah bin Abbas, wa shalla Ibnu Umar… ” kemudian beliau membawakan sanadnya hadits Ibnu Abbas yang telah lalu.
Dan pendapat yang menyatakan disyariatkannya shalat gerhana secara berjamaah adalah pendapat jumhur, dan sekalipun tidak dihadiri oleh imam rawatib maka sebagian mereka mengimami mereka. Lihat: “Fathul Bari” (2/539 – 540).

[13]. Dari penetapan judul Bukhari dalam “Shahih” nya: “bab shalat Al-Kusuf fil masjid”, disebutkan padanya hadits Aisyah yang telah lalu dengan riwayat padanya terdapat ucapan: “kemudian rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan pada suatu hari, kemudian terjadilah gerhana matahari, maka beliau kembali di waktu dhuha, dan beliau melewati diantara dua bauh kamar…” (hadits no. 1056).
Berkata Ibnu Hajar di dalam “Fathul Bari” (2/544) mengomentari hadits ini: “tidak terjadi padanya kejelasan dilakukannya – yakni shalat gerhana – di masjid, akan tetapi diambil dari ucapannya dalam hadits tersebut: “maka beliau melewati dua buah kamar”; karena kamar tersebut adalah rumah-rumah para istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang itu menempel dengan masjid, dan telah disebutkan secara jelas hal itu dalam riwayat Sulaiman bin Bilal dari Yahya bin Sa’id dari Umarah pada hadits Muslim.
[Aku katakan: yaitu pada hadits no. 903], dan lafazhnya: “maka aku keluar pada sekelompok wanita diantara dua buah kamar di masjid, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari kendaraannya, hingga tiba ke tempat shalatnya yang beliau shalat padanya…” al-hadits. Selesai.
Aku katakan: dan yang lebih jelas dari itu apa yang datang pada riwayat hadits Aisyah yang terdahulu pada Muslim pada (no. 901); beliau mengatakan: “terjadi gerhana matahari pada masa hidupnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid, maka beliau berdiri, bertakbir dan manusia berbaris dibelakang beliau.”

[14]. Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Bukhari baik secara mu’allaq maupun secara jazem [yakni secara mu’allaq ialah dibawakan riwayanya dengan tanpa membawakan sanad haditsnya, sedangkan secara jazem ialah sebaliknya, pent] dengan lafazh ini di dalam (Kitab Al-Buyu’, bab An-Najasy, Fathul Bari 4/355), dan dikeluarkan secara maushul [yakni bersambung hingga sampai kepada nabi, pent] di dalam (Kitab As-Shulh, bab idza ishthalahuw ‘ala shulh jawr fa as-shulh mardud); dengan lafazh: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam perkara (agama) kami ini apa yang bukan bagian darinya; maka dia tertolak”, dan dikeluarkan oleh Muslim di dalam (Kitab Al-Aqdhiyah, bab naqdhu al-ahkam al-bathilah wa radd muhdatsat al-umur, hadits no. 1718). Dan lihat: “Jami’ Al-Ushul” (1/289).

[15]. Telah lewat takhrijnya, dan itu adalah bagian dari hadits Aisyah dalam shalat gerhana yang telah disebutkan di awal pasal.

[16]. “Al-Iqna'” karya Ibnul Mundzir (1/124 – 125).

 

Diterjemahkan dari Kitab Bughyah Al-Mutathawwi’ Fi Shalat At-Tathawwu’ (hal. 106 – 113) dan dinukil dan dirangkum dari: https://telegram.me/butiranfaedah

Gulir ke Atas