Ringkasan : Tinjauan Syariat, Amalan Di Bulan Rajab

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah ﷻ karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Hari ini Ahad, tanggal 09 Rajab 1442 H bertepatan dengan tanggal 21 Februari 2021 M.

Bagaimana tinjauan Syariat terkait amalan di bulan Rajab ? Apa saja amalan yang di syariatkan dan yang tidak di syariatkan di bulan Rajab ? Berikut penjelasannya :

Ikhwatal Iman, barakallahufikum…

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab termasuk dari empat bulan yang haram.
Allah ﷻ berfirman :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.”
(Qs. At Taubah : 36)

Lalu apa saja empat bulan haram (suci) tersebut ?

Dari Abu Bakroh radiyallahu’anhu, bahwa Nabi ﷺ menjelaskan empat bulan haram tersebut :

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”
(HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan :
“Allah ﷻ menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.

Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”
(Latho-if Al Ma’arif : 202)

Mengapa empat bulan tersebut disebut bulan haram ?

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan :

“Dinamakan bulan haram karena dua makna :
Pertama : Pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

Kedua : Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”
(Lihat Zaadul Maysir 3/432, tafsir surat At Taubah : 36).

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan tentang hal ini :

واختلفوا لم سميت هذه الأشهر الأربعة حرما؟. فقيل: لعظم حرمتها وحرمة الذنب فيها قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس: اختص الله أربعة أشهر جعلهن حرما وعظم حرماتهن وجعل الذنب فيهن أعظم وجعل العمل الصالح والأجر أعظم.

“Para Ulama berselisih pendapat tentang alasan mengapa keempat bulan ini disebut sebagai bulan haram ? Ada yang berpendapat : disebabkan karena besarnya kemuliaan bulan- bulan itu dan besarnya dosa-dosa yang dilakukan padanya. Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas : “Allah mengkhususkan empat bulan sebagai bulan haram dan Allah mengagungkan kemuliaannya.
Dan Allah menjadikan perbuatan dosa yang dilakukan didalamnya lebih besar. (Sebagaimana) Allah pun menjadikan amalan shalih dan ganjaran yang didapatkan didalamnya lebih besar pula”.
(Lathaiful Ma’arif, hal. 207).

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan :

وإنما كانت الأشهر المحرمة أربعة، ثلاثة سرد وواحد فرد، لأجل أداء مناسك الحج والعمرة فحُرِّم قبل أشهر الحج شهرًا وهو ذو القعدة؛ لأنهم يقعدون فيه عن القتال، وحُرِّم شهر ذو الحجة لأنهم يوقعون فيه الحج ويشتغلون بأداء المناسك، وحُرِّم بعده شهرًا آخر وهو المحرم؛ ليرجعوا فيه إلى أقصى بلادهم آمنين، وحُرِّم رجب في وسط الحول لأجل زيارة البيت والاعتماد به لمن يقدم إليه من أقصى جزيرة العرب فيزوره ثم يعود إلى وطنه فيه آمنًا».

“Bulan haram itu ada empat -tiga berurutan dan satu terpisah-, hal itu disebabkan adanya pelaksanaan ibadah haji dan umrah (didalamnya). Satu bulan sebelum bulan haji, yaitu bulan Dzul Qo’dah, (bulan tersebut) dinyatakan sebagai bulan haram, karena mereka tidak melakukan peperangan didalamnya.
Bulan Dzul Hijjah ditetapkan sebagai bulan haram, karena mereka melakukan ibadah haji pada bulan itu dan sibuk dengannya. Bulan sesudahnya (juga) ditetapkan sebagai bulan haram, yaitu: Muharram, agar mereka dapat kembali ke negeri mereka yang paling jauh (sekalipun) pada bulan ini, dalam keadaan aman.

Bulan Rajab ditetapkan sebagai bulan haram yang terletak di pertengahan tahun, agar (manusia) berkesempatan mengunjungi Baitullah dan ini adalah kesempatan yang baik bagi orang yang datang dari tempat terjauh di wilayah Jazirah Arab, mereka mengunjunginya, kemudian pulang ke negerinya dalam keadaan aman di dalam bulan tersebut”.
(Tafsir Ibnu Katsir : 3/25).

Beberapa Hukum Berkaitan Bulan Rajab

Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab, baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun umrah atau amalan-amalan khusus lainnya. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadits yang menyebutkan amalan di bulan Rajab adalah hadits dhaif (lemah) dan tertolak.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ

“Tidak terdapat riwayat yang sahih yang layak dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula riwayat yang shahih tentang puasa rajab, atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu bulan rajab. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al-Harawi.”
(Tabyinul Ajab bi Ma Warada fi Fadli Rajab, hlm. 6)

Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah. Dalam karyanya yang mengupas tentang amalan sepanjang tahun, yang berjudul Lathaiful Ma’arif, beliau menegaskan tidak ada shalat sunah khusus untuk bulan rajab :

لم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Tidak terdapat dalil yang sahih tentang anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, batil, dan tidak sahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah, menurut mayoritas ulama.”
(Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)

Adapun terkait mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab, maka tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan :
`”Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini ?!. Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Adapun terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab rahimahullah juga menegaskan :

لم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه و سلم و لا عن أصحابه و لكن روي عن أبي قلابة قال : في الجنة قصر لصوام رجب قال البيهقي : أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ و إنما ورد في صيام الأشهر الحرم كلها

“Tidak ada satu pun hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, ‘Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.’ Namun, riwayat ini bukan hadis. Imam Al-Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah, ‘Abu Qilabah termasuk tabi’in senior. Beliau tidak menyampaikan riwayat itu, melainkan hanya kabar tanpa sanad.’ Riwayat yang ada adalah riwayat yang menyebutkan anjuran puasa di bulan haram seluruhnya”.
(Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)

Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat radiyallahu’anhum bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob radiyallahu’anhu. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan :

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.”
(Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rshimahullah dalam Irwa’ul Gholil)

Disebutkan dalam Kitab Lathaiful Ma’arif, satu buku khusus karya Ibnu Rajab rahimahullah, yang membahas tentang wadzifah (amalan sunah) sepanjang masa :*

روي عن عمر رضي الله عنه : أنه كان يضرب أكف الرجال في صوم رجب حتى يضعوها في الطعام و يقول : ما رجب ؟ إن رجبا كان يعظمه أهل الجاهلية فلما كان الإسلام ترك

“Diriwayatkan dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau memukul telapak tangan beberapa orang yang melakukan puasa rajab, sampai mereka meletakkan tangannya di makanan. Umar mengatakan, “Apa rajab ? Sesungguhnnya rajab adalah bulan yang dulu diagungkan masyarakat jahiliyah. Setelah islam datang, ditinggalkan.”

Dalam riwayat yang lain :

كرِهَ أن يَكونَ صِيامُه سُنَّة

Beliau benci ketika puasa rajab dijadikan sunah (kebiasaan).”
(Lathaif Al-Ma’arif, 215).

Dalam riwayat yang lain, tentang sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu :

أنه رأى أهله قد اشتروا كيزانا للماء واستعدوا للصوم فقال : ما هذا ؟ فقالوا: رجب. فقال: أتريدون أن تشبهوه برمضان ؟ وكسر تلك الكيزان

“Beliau melihat keluarganya telah membeli bejana untuk wadah air, yang mereka siapkan untuk puasa. Abu Bakrah bertanya: ‘Puasa apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Puasa rajab’ Abu Bakrah menjawab, ‘Apakah kalian hendak menyamakan rajab dengan ramadhan?’ kemudian beliau memecah bejana-bejana itu.”
(Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/107, Ibn Rajab dalam Lathaif hlm. 215).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :

“Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”
(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)

Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan :

“Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.”

Imam Asy Syafi’i rahimahillah mengatakan :

“Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan.”
(Latho-if Ma’arif, 215)

Ringkasnya, Berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut :

1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.

2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).

3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Adapun Perayaan Isro’ Mi’roj, maka sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab ?

Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :

“Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.”
(Zaadul Ma’ad, 1/54)

Dari penjelasan tersebut menunjukkan Waktu terjadinya Isro’ mi’roj diperselisihkan oleh para ulama. Maka tentunya terlebih lagi merayakan Isro’ mi’roj di bulan Rajab merupakan perkara bid’ah yang tidak ada tuntunannya.

Kesimpulan Amalan yang Tidak di Syariatkan di Bulan Rajab :

1. Menyambut Rajab Dengan Beristighfar.

Sebagian umat Islam menyambut bulan Rajab dengan memperbanyak membaca istighfar,
diantara bacaan istighfar itu ialah :

أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ مِنْ جَمِيْعِ الذُّنُوْبِ وَاْلآثَامِ

“Aku mohon ampun kepada Allah yang memiliki keagungan dan kemuliaan dari segala dosa.”

Namun berpegang dengan hadits dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ :

“Perbanyaklah istighfar pada bulan Rajab, karena Allah setiap saat membebaskan dari neraka pada bulan itu”.
Padahal hadits ini dha’if, dikeluarkan Ad-Dailami dalam Al Firdaus 1/81 no. 247, dan di dalamnya terdapat Asbagh bin Tsubatah, dia seorang perawi yang matruk yang diisyaratkan diucapannya penulis. (Lihat Tadzkirah Al Maudhu’at, 116 dan Tanzih Asy Syari’ah 2/333).

2. Shalat Raghaib

Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12 raka’at dengan 6 kali salam dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada Jum’at pertama bulan Rajab, membaca surat Al Qadr 3 kali dan Al Ikhlas 12 kali setelah membaca Al Fatihah dan setelah selesai, membaca shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdo’a dengan do’a yang dia kehendaki, namun rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits, bahwa ia maudhu’ (palsu).
Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits dari Anas bin Malik radiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
“Janganlah kalian melupakan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, karena malam itu disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; maka tidaklah ada seorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat antara Maghrib dengan Isya’ sebanyak dua belas raka’at, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya.”

Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata: “Hadits ini palsu”.

Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata: “Ini adalah hadits palsu yang dibuat secara dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bid’ah yang sangat ektrim, yaitu Ali bin Abdullah Jahdham”.

Abu Syamah rahimahullah berkata :
“Diantara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh palsu adalah besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan kewajiban yang asasi.
Dalam lafazh hadits terdapat indikasi, bahwa hadits ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isya’ dengan atamah. Dan tidak mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang menamai shalat Isya dengan atamah.

Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan : Para ulama berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits :

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ

“Janganlah kamu mengkhususkan malam Jum’at untuk shalat, dan hari Jum’at untuk berpuasa.”

Dengan demikian shalat Raghaib termasuk bid’ah yang munkar, termasuk bid’ah yang sesat; karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya para imam telah menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan, kesesataan, kebid’ahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.

3. Menyalakan Api Pada Malam Jum’at Dari Bulan Rajab.

Adapun menjadikan malam itu untuk berkumpul dan menambahkan api atau semisalnya pada saat itu, maka tidak diragukan lagi, bahwa itu merupakan bid’ah yang jelek dan perbuatan yang munkar; karena di dalamnya terdapat pemborosan harta serta menyerupai para penyembah api.

4. Berkumpul Pada Malam Tanggal 27 Rajab.

Ada sebagian manusia membaca kisah Mi’raj, berdzikir, melakukan ibadah tertentu dan berkumpul pada malam 27 Rajab untuk merayakannya. Ini merupakan perbuatan bid’ah. Tidak ada satupun dalil yang shahih tentang pembacaan do’a-do’a pada malam-malam bulan Rajab, Sya’ban maupun Ramadhan. Semua adalah karangan manusia dan bid’ah. Seandainya hal tersebut baik, sudah pasti para sahabat telah melakukannya terlebih dahulu. Juga tidak ada dalil pasti yang menetapkan kapan terjadinya peristiwa Isra’, begitu pula bulannya. Permasalahan kepergian dan kepulangan Rasulullah ﷺ dari Isra’ dengan kondisi kasur Beliau yang tidak dalam keadaan dingin, tidak ada dalil yang menerangkannya. Hal ini hanyalah kebohongan belaka.

Benar, ada riwayat bahwa ketika merenovasi bangunan Ka’bah, Abdullah bin Zubair menempatkannya di atas bangunan yang tinggi dan selesai menjelang tanggal 27 Rajab melalui malam-malam yang banyak. Dia menyembelih dua kurban untuk orang-orang fakir dan miskin, dan menyuruh penduduk Makkah ketika itu agar melaksanakan umrah sebagai rasa syukur kepada Allah ﷻ karena dapat menyempurnakan Baitullah dengan susunan yang disukai Nabi ﷺ. Meskipun demikian, itu bukan dalil untuk membolehkan acara bid’ah pada malam 27 Rajab. Semakin menambah acara tersebut, maka semakin dibenci Allah ﷻ dan RasulNyaﷺ terlebih adanya berbagai kemungkaran yang terjadi, yaitu ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), menabuh rebana dan menari, serta menyia-nyiakan harta benda.

5. Shalat Pada Malam Isra dan Mi’raj.

Shalat pada malam Mi’raj, shalat malam Lailatul Qadar, shalat pada setiap malam bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan tidak ada satupun yang memiliki dasar yang shahih.

6. Mengkhususkan Umrah Pada Bulan Rajab.

Tidak ada keutamaan secara khusus umrah pada bulan Rajab dengan bersandar kepada dalil shahih, karena Rasulullah tidak pernah mengerjakannya, tidak pernah menyetujui salah seorang sahabat yang melakukannya. Dan apabila Beliau menganjurkan umrah pada bulan Rajab secara khusus, maka itu tidak tsabit.

7. Puasa Pada Bulan Rajab.

Kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya juga, diantaranya Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751H). Beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96 :
“Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu (merupakan) kedustaan yang diada-adakan”.

Al-‘Allamah Al-Faqih Majdudin Al-Fairuz Abadi rahimahullah (wafat 826 H). Beliau berkata di penutup kitab Safar As-Sa’adah, hlm. 150 :
“Dan bab shalat Raghaib, shalat Nishfu Sya’ban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat malam Mi’raj, … bab-bab ini -di dalamnya- secara pasti tidak ada sesuatu pun yang sah”.

Wallahu a’lam.

📖 Sumber : Audio “Tinjauan Syariat, Amalan di Bulan Rajab”. Ta’lim Ummat di Ma’had Ibnu Abbas Barakkang. Hari Sabtu, 02 Rajab 1442 H/14 Februari 2021 M. https//t.me/Info_Kajian_SeSulbar

Dirangkum dari Channel Telegram Alhabbu Ilaina
https://t.me/Alhaqqu_Ahabbu_Ilaina

Gulir ke Atas