Meniti Jalan yang Lurus
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَلَى اللهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).” (An-Nahl: 9)
Penjelasan Mufradat Ayat
قَصْدُ السَّبِيلِ
“Jalan yang lurus.”
Qashd dalam ayat ini bermakna isim fa’il (qashid/ قَاصِدٌ), yang berarti lurus. Sedangkan sabil berarti jalan. Maka qashdus sabil bermakna lurusnya sebuah jalan atau jalan yang lurus.
Asy-Syinqithi rahimahullahu menerangkan dalam kitabnya Adhwa’ Al-Bayan: “Ketahuilah bahwa yang dimaksud qashdus sabil adalah jalan lurus yang tidak mengandung kebengkokan. Makna ini adalah hal yang telah diketahui dalam lingkup bahasa Arab.”
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Al-Qashd adalah keadilan, sebagaimana ia juga bermakna lurus dan kebenaran, yaitu yang sesuai dan sepadan, yang tidak bertambah dan tidak berkurang.” (Majmu’ Fatawa, 17/230)
Ungkapan para ahli tafsir dalam menjelaskan maknanya memang beragam, namun pada hakikatnya kembali kepada inti makna, yaitu jalan yang lurus, tidak menyimpang, yang senantiasa berada di atas bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan petunjuk dan kesesatan.”
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Syariat dan perkara-perkara yang wajib.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Jalan kebenaran menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Qatadah rahimahullahu berkata: “Merupakan hak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan halal, haram, ketaatan, dan kemaksiatan.”
As-Suddi rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) Islam.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “(Menerangkan) As-Sunnah.”
Syaikhul Islam mengatakan: “Hidayah, qashdus sabil, dan jalan yang lurus, semuanya menunjukkan ibadah dan taat kepada-Nya, tidak menunjukkan kemaksiatan dan taat kepada setan.” (Majmu’ Fatawa, 15/214)
وَمِنْهَا جَائِرٌ
“Dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok.”
Dhamir ha kembali kepada lafadz sabil, disebutkan dalam bentuk mu’annats karena lafadz tersebut bisa dijadikan mudzakkar dan mu’annats. Sebagian menyebutkan bahwa lafadz sabil dalam ayat ini bermakna jamak meskipun bentuknya mufrad.
At-Thabari rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu membacanya وَمِنْكُمْ جَائِرٌ. Maknanya adalah bahwa di antara jalan-jalan tersebut terdapat jalan-jalan yang menyimpang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Jalan-jalan yang terpecah-pecah.” Dalam riwayat lain beliau mengatakan: “Berbagai macam hawa nafsu.” Yang semakna dengannya disebutkan pula oleh Ubaid bin Sulaiman, Ibnu Juraij, dan yang lainnya.
Sebagian mengatakan: “Qashdus sabil adalah agama Islam, sedangkan ja’ir adalah agama kekufuran dengan berbagai macamnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: “Mereka adalah pengekor bid’ah dan hawa nafsu.”
Penjelasan Makna Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki hak yang mutlak dalam membimbing siapa saja yang dikehendaki-Nya, sebagai karunia dan keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba tersebut. Bimbingan itulah yang menyebabkan seorang hamba senantiasa istiqamah di atas Islam, di atas As-Sunnah, yang merupakan satu-satunya jalan kebenaran. Selain jalan ini, merupakan jalan-jalan yang menyimpang dari al-haq. Ada kalanya menuju kekufuran serta kesyirikan, dan ada kalanya menuju kepada bid’ah serta hawa nafsu. Seorang hamba yang dibimbing menuju jalan yang lurus adalah semata-mata karena rahmat dan karunia-Nya Azza wa Jalla. Sedangkan seseorang yang tersesat dan menyimpang, itu merupakan bentuk keadilan dan hikmah yang dikehendaki-Nya.
Syaikhul Islam berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Ini juga termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling agung, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjamin untuk menjelaskan dan merinci jalan petunjuk, yaitu dengan cara menegakkan dalil-dalil serta mengutus para rasul. Ini yang disebutkan oleh para ahli tafsir. Ada pula kemungkinan maknanya bahwa siapa yang menempuh jalan yang lurus maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing jalannya dan akan sampai kepada-Nya. Sebagaimana halnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ هَذَا صِرَاطٌ عَلَيَّ مُسْتَقِيمٌ
“Allah berfirman: ‘Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya)’.” (Al-Hijr: 41) [Majmu’ Fatawa: 15/207]
Sebab jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki, bukanlah hal yang sulit bagi-Nya untuk menjadikan semua orang dalam keadaan mukmin dan taat kepada-Nya. Namun sudah menjadi ketetapan dan hikmah-Nya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sebagian manusia ada yang kafir dan menyimpang dari jalan-Nya, karena hikmah dan kemaslahatan yang lebih besar yang telah menjadi ketetapan dan kehendak-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripadaku; ‘Sesungguhnya akan aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’.” (As-Sajdah: 13)
Juga firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 253)
Firman-Nya pula:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Al-Ma’idah: 48)
Dan firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (Al-An’am: 35)
Dan masih banyak lagi ayat yang menjelaskan hal ini.
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: “Seseorang tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan menempuh jalan lurus yang disyariatkan oleh-Nya, diridhai-Nya. Adapun selain itu, maka itu adalah jalan yang tertutup serta amalan-amalan yang tertolak.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “(Ayat ini) menjelaskan bahwa kehendak takdir adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan ini membenarkan penafsiran yang disebutkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Juga membantah kelompok Al-Qadariyyah (pengingkar takdir) dan yang sependapat dengan mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Syaikhul Islam rahimahullahu mengatakan: “Takdir merupakan hal yang benar, namun memahami Al-Qur’an dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, serta menjelaskan hikmah dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama dengan keimanan kepada takdir, merupakan metode para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa, 15/211)
Memahami Perbedaan Ungkapan Ahli Tafsir
Jika kita perhatikan pendapat para ulama dalam menafsirkan kata qashdus sabil dan waminha ja’ir, nampak terjadi perselisihan di antara mereka. Namun pada hakikatnya, ikhtilaf tersebut tidak bertentangan satu sama lain. Sebab apa yang mereka perselisihkan tersebut termasuk di antara jenis ikhtilaf tanawwu’, yaitu perselisihan yang tidak saling kontradiksi, namun saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam risalahnya Muqaddamah fi Ushul At-Tafsir, di mana beliau menjelaskan bahwa perselisihan di kalangan ahli tafsir yang termasuk dalam jenis ikhtilaf tanawwu’ ada dua macam:
1. Setiap mereka memberi ungkapan tertentu yang berbeda dengan ungkapan ahli tafsir yang lain, yang semua ungkapan itu menunjukkan makna tersendiri yang terdapat pada sesuatu yang ditafsirkan tersebut. Seperti halnya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya. Seperti halnya nama Allah Al-Aziz yang memiliki makna dan sifat kemuliaan, berbeda dengan nama Ar-Rahman, yang mengandung sifat kasih sayang-Nya. Masing-masing dari nama Al-Aziz dan Ar-Rahman kembali kepada Dzat yang sama, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula nama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara nama beliau adalah Al-Mahi, yang artinya penghapus kekufuran. Di antara nama beliau adalah Al-’Aqib, yang artinya tidak ada nabi setelah beliau. Juga di antara nama beliau adalah Ahmad, artinya orang yang terpuji. Namun setiap dari nama tersebut walaupun memiliki makna yang berbeda, namun pada hakikatnya kembali kepada satu diri, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula penafsiran para ulama dalam menjelaskan makna ash-shiratul mustaqim, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Islam. Sebagian berkata maksudnya mengikuti Al-Qur’an. Sebagian lagi mengatakan, maksudnya As-Sunnah dan Al-Jama’ah, sebagian lagi mengatakan maksudnya taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta yang lainnya. Seluruhnya mengisyaratkan kepada inti yang sama, dengan pengungkapan sifat yang berbeda.
2. Masing-masing menafsirkan sebuah nama yang umum dengan sebagian yang bersifat khusus untuk dijadikan sebagai contoh, bukan bermaksud untuk membatasi penafsiran hanya dalam sesuatu yang disebutkan tersebut. Seperti contoh, ketika ada seseorang yang bukan Arab bertanya tentang apa yang dimaksud dengan lafadz khubuz (roti), lalu dijawab dengan memperlihatkan salah satu jenis roti. Itu bukan berarti bahwa khubuz memiliki makna terbatas yang dicontohkan itu saja, namun khubuz meliputi jenis yang lain pula, yang merupakan jenis makanan yang terbuat dari gandum dengan berbagai bentuknya.
Seperti halnya dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)
Telah dimaklumi bahwa makna az-zalim linafsihi (yang menganiaya diri sendiri) mencakup setiap orang yang melalaikan hal-hal yang wajib, yang melakukan perbuatan yang diharamkan. Sedangkan al-muqtashid (yang pertengahan) meliputi setiap orang yang melakukan hal-hal yang wajib dan meninggalkan perkara haram. Adapun as-sabiq (yang lebih dahulu berbuat kebaikan) mencakup setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan-amalan kebaikan disamping hal-hal yang wajib tersebut.
Namun bila kita melihat pendapat ahli tafsir, kita mendapati bahwa di antara mereka ada yang menafsirkan dengan menyebutkan salah satu dari amalan shalih yang dilakukan seorang hamba. Seperti ada yang menyebutkan bahwa as-sabiq adalah orang yang shalat pada awal waktu, al-muqtashid adalah orang yang shalat pada pertengahan waktu, sedangkan azh-zhalim linafsihi adalah orang yang melambatkan waktu shalat ashar hingga matahari menguning.
Sebagian ahli tafsir ada pula yang mengatakan bahwa as-sabiq adalah orang yang bersedekah, azh-zhalim linafsihi adalah orang yang bermu’amalah dengan cara riba, sedangkan al-muqtashid adalah orang yang berjual beli dengan cara yang adil.
Sebagian lagi menyebutkan penafsiran yang berbeda, yang jika kita perhatikan, sesungguhnya tidak ada perselisihan yang saling bertentangan dari berbagai penafsiran tersebut. Hanya saja masing-masing dari mereka menyebutkan salah satu jenis amalan tertentu, yang dijadikan sebagai contoh untuk memudahkan dalam memahami ayat tersebut, bukan sebagai pembatas makna ayat. (Lihat pembahasan rinci Syaikhul Islam rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa, 13/333-338)
Bila kita memahami hal ini maka kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya kebanyakan perselisihan di kalangan ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kembalinya kepada dua macam penafsiran yang telah kita sebutkan. Bukan merupakan perselisihan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Wallahu a’lam.
✍🏽 Penulis: Al-Ustadz Abu Muawiyah Askary hafizhahullah